A+ A-
Oleh: Sulangkang Suwalu

Jawa Pos (6/2) memberitakan bahawa inilah kali pertama pendaftaran partai yang akan ikut pemilu diikuti antrean panjang calon pesertanya. Semangat mendaftarkan parpol baru ke Departemen Kehakiman kali ini memang lain. Di antara 34 parpol yang ingin mendaftar hanya Partai Cinta Damai yang ditolak panitia. Pasalnya, belum satupun berkas dibawa partai itu.

Pendaftar pertama adalah PNI yang dipimpin Ny. Supeni. Menyusul kemudian PKP, PNI (Bachtiar Oscha Chalik), PNI (Probosutedjo), PNI (Maruli Pardede) ternyata tercatat diurutan ke-30.Adanya 4 PNI ini mengingatkan penulis kepada buku Manai Sophian yang berjudul "Kehormatan bagi yang berhak" (1994), dimana Bab X berjudul "PNI yang malang". Karena pimpinan PNI telah meninggalkan Bung Karno, pendiri PNI, meninggalkan ajaran-ajarannya.

Tentu saja kini menjadi pertanyaan: diantara 4 PNI itu adakah diantaranya yang masih mengikuti Marhaenisme ajaran Bung Karno dan PNI yang mana pula yang menggunakan nama PNI tapi justru untuk lebih menghancurkan ajaran-ajaran Bung Karno?
PNI dan Pancasila
Menurut Manai Sophian dalam bukunya, PNI dibangun Bung Karno bersama teman-teman sepahamnya, untuk mewadahi aliran politik yang ada di Indonesia, dipersatukan dalam satu ideologi baru yaitu Marhaenisme. Marhaenisme dirumuskan sebagai satu ajaran yang mempunyai konsep dasar perjuangan baru melawan penjajahan, kapitalisme dan feodalisme, setelah Bung Karno melihat
terpecah-belahnya tiga aliran politik besar yang ada, yaitu BU (Budi Utomo) yang nasionalistis tapi Jawa sentris, SDI (Sarekat Dagang Islam) yang menekankan kesetiaan pada agama, dan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang kebarat-baratan karena menganut paham Sosialisme Barat dan Marxisme.

Usaha Bung Karno mempersatukan aliran-aliran politik dalam PPPKI (Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) mengalami kegagalan. PNI dengan Marhaenismenya diharapkan bisa menjadi pelopor mempersatukan semua kekuatan politik di Indonedia, diperhitungkan dalam satu koordinasi yang baik.

Program ini mendapat rumusan yang lebih sempurna dalam pidato 1 Juni 1945 yang dikenal dengan Pidato "Lahirnya Pancasila", yang kembali menekankan mutlaknya persatuan seluruh kekuatan rakyat untuk menopang kemerdekaan (hal:269). PNI yang Pancasilais inilah yang memungkinkan PNI keluar dari pemilu 1955 sebagai partai No 1.

Deklarasi Marhaenis
Didalam perkembangannya PNI mengalami kemerosotan. Menurut Manai Sophian persoalan intern yang memperlemah posisi partai, yaitu beberapa tokoh tertentu dari PNI ikut dalam gerakan "Liga Demokrasi" bersama dengan Masyumi, PSI, IPKI dan Partai Kristen menentang pembubaran DPR hasil pemilu 1955. Sikap ini tentu saja merugikan PNI kedalam, karena partai sudah menentukan sikap tidak menolak pembentukan DPRGR sebagai pengganti DPR hasil pemilu.

Liga Demokrasi dibubarkan oleh pemerintah. Kemudian dalam merumuskan manifesto Dasar-dasar Pokok Marhaenisme timbul lagi kesulitan, kali ini dengan Bung Karno sebagai bapak Marhaenisme. Rumusan pertama yang disusun oleh Sayuti Melik, ditolak oleh Bung Karno. Kemudian dibentuk Panitia Perancang yang dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo (Ketua Umum PNI) dengan anggota-anggota inti Ruslan Abdulgani, Sayuti Melik dan Osa Maliki. Memahami apa keberatan Bung Karno mengenai rumusan yang disusun Sayuti Melik, maka panitia Ali memberikan konsesi identitas ke kiri dengan menyetujui dasar Marhaenisme ialah Pancasila, Demokrasi Terpimpin, Manipol (Manifesto Politik) dan Sosialisme Indonesia. Tapi Marxisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi Indonesia, yang diinginkan oleh Bung Karno supaya masuk sebagai identitas Marhaenismes tidak masuk dalam rumusan.

Yang keras menolaknya ialah Sayuti Melik dan Osa Maliki, sedang Ali Sastroamidjojo dan Ruslan Abdulgani bersedia memahami keinginan Bung Karno. Rumusan tersebut kembali tak disetujui Bung Karno. Akhirnya dasar-dasar pokok Marhaenisme dirumuskan dalam Sidang Badan Pekerja Kongres PNI di Lembang pada bulan November l964, yang dikenal sebagai "Deklarasi Marhaenis" dan diterima oleh Bung Karno, dimana ditegaskan antara lain :

  1. Bahwa perjuangan untuk membela kaum Marhaen menentang musuh-musuhnya, yaitu kapitalisme, nekolim dan feodalisme adalah suatu perjuangan yang paling terhormat.
  2. PNI/Front Marhaenis adalah alat bagi kaum Marhaen untuk memperjuangkan dan terealisasikan cita-cita kemerdekaan penuh dan dunia baru.
  3. Oleh karena itu setiap Marhaenis harus senantiasa membajakan diri dan mendidik dirinya dalam teori dan prakte perjuangan rakyat untuk menjadi Marhaenis yang lebih baik lagi sebagai murid-murid yang terbaik dan terpercaya dari bapak Marhaenisme Bung Karno.
  4. Marhaenisme ajaran Bung Karno yang dicetuskan pada tahun 1927 bersamaan dengan berdirinya PNI, yaitu sebagai hasil penarikan pelajaran yang tepat dari praktek perjuangan rakyat Indonesia dan rakyat-rakyat lainnya di muka bumi, yang ditindas dan dimelaratkan oleh sistem kapitalisme, imperialisme, kolonialisme, merupakan senjata ampuh di tangan kaum Marhaen sebagai azas dan cara perjuangan, serta memberikan semua landasan yang kokoh kuat, yang menjamin kemenangan kaum Marhaen dengan menggalang semua kekuatan nasional.
  5. Untuk mendatangkan kemenangannya kaum Marhaen, mereka harus diorganisir dalam satu barisan Front Marhaenis yang teratur, dinamis dan berdisiplin, yang didalam segala halnya menyelamatkan kaum Marhaen. (hal: 281-282).


Pencabutan Deklarasi Marhaenis
Sesudah G30S meletus, dan Jenderal Soeharto telah memegang kekuasaan secara de facto sejak 1 Oktober 1965, maka PNI menyelenggarakan apa yang dinamakan Kongres Pemersatuan di Bandung (dari 24-26 April 1966). Kemudian pada bulan November tahun itu juga disusul dengan Sidang Majlis Permusyawaratan Partai (MPP) yang tugas pokoknya mencabut Deklarasi Marhaenis (November 1964) dan menyatakan rumusan Deklarasi Marhaenis itu sebagai penyelewengan.

Sidang MPP membuat rumusan baru yang mengatakan bahwa Marhaenisme sebagai ideologi dan paham politik, hanya mengandung:

  1. Ketuhanan yang Maha Esa.
  2. Sosio Nasionalisme.
  3. Sosio Demokrasi.

Sidang MPP menegaskan, bahwa tidak ada satupun basic ideas Marxisme yang dianut oleh Marhaenismes meskipun Bung Karno mengatakan: ada. Padahal Osa Maliki, sebagai Ketua Umum PNI gaya baru mengakui dalam satu ceramahnya pada 1958 Bung Karno menjelaskan bahwa Marhaenisme adalah het in Indonesia toegepaste Marxisme-- Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi Indonesia (hal: 284-285).

Kebulatan Tekad PNI
Menurut Manai Sophian selanjutnya, PNI yang mempunyai keterkaitan historis ideologis dengan Bung Karno, yang seharusnya tampil melindungi saat-saat yang paling kritis dalam sejarah kepemimpinannya, justru bersikap munafik. Ketika Bung Karno dinista oleh komponen Orde Baru dan menuntutnya di Mahmilubkan, PNI tidak membelanya.

Pemimpin-pemimpin yang bekerjasama dengan Orba, dengan cara kasar mengambil alih kepemimpin partai dalam Kongres Pemersatuan yang dipenuhi intrik dan ancaman, dengan melibatkan unsur luar partai. Kongres Pemersatuan di Bandung (akhir April 1966) mengingkari komitmen PNI terhadap Bung Karno sebagai pendiri PNI dan bapak Marhaenisme, yang disahkan dua kali Kongres.

Pada tanggal 20 Desember 1967, PNI gayabaru dibawah pimpinan Osa Maliki mengeluarkan "Kebulatan Tekad" yang menegaskan bahwa di bidang ideologi Marhaenisme bukan lagi ditafsirkan seperti rumusan penciptanya, yaitu sebagai Marxisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi Indonesia dan alat persatuan anti imperialisme, kapitalisme dan feodalisme, melainkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi.

Sedang dalam politik dengan tegas PNI gayabaru menyatakan melaksanakan Ketetapan MPRS No XXXIII/1967 yang tidak menghendaki lagi kembalinya kepemimpinan politik Soekarno, ditiadakan. Sejak itu Bung Karno sudah ditempatkan oleh PNI pada satu posisi yang tidak
lagi didukung (hal: 266-267-268). Ya, alangkah malangnya nasib pendiri PNI, Bung Karno.

PNI Kebulatan Tekad Menjadi PDI
Menurut Manai Sophian semenjak itu pulalah PNI mencatat bagaimana massanya berbondong-bondong meninggalkan partainya dan dalam Pemilu 1971, yang diselenggaravan Orba, partai bertanda-gambar banteng dalam segi tiga ini mengalami kekalahan tragis, dengan hanya kebahagian 8% suara. Untuk kemudian mengumumkan kematiannya dengan memasuki fusi kedalam PDI, tanpa melalui putusan Kongres. Bergabung dengan partai-partai kecil: Murba, IPKI, Partai Katolik dan Partai Kristen. PSI mengakhiri eksistensinya sebagai partai terbesar, simbol nasionalisme Indonesia yang pernah menjadi partai No 1 dalam Pemilu 1955.

Dengan demikian maka PDI (baik pimpinannya Surjadi yang menjadi pionnya Soeharto dan yang kini dilanjutkan oleh Budi Hardjono), maupun PDI yang dipimpin Megawati adalah kelanjutan PNI "Kebulatan Tekad" yang meninggalkan Bung Karno dan ajaran-ajarannya.

Yang Mana PNI Bung Karno?
Karena eksistensi PNI telah berakhir dengan fusinya PNI kedalam PDI, maka tidaklah mengejutkan bila setelah Soeharto lengser muncul 4 PNI, yang masing-masing mengaku adalah PNI-nya Bung Karno, PNI yang melanjutkan PNI yang didirikan Bung Karro. Di antara 4 PNI itu, mana yang sungguh-sungguh PNI yang hendak melanjutkan PNI-nya Bung Karno dan manapula yang hendak menggunakan nama Bung Karno untuk menghancurkan ajaran-ajaran Bung Karno?

PNI yang dipimpin Ny Supeni, telah muncul juga di masa Soeharto masih berkuasa. Ini menunjukkan komitmen Ny Supeni atau Bung Karno dan ajaran-ajarannya. Umumnya menganggap bahwa kemunculan PNI Supeni membantu membangkitkan warga PNI akan komitmennya. Bagaimana dengan PNI yang dipimpin Bachtiar Oscha Chalik? PNI yang dipimpin Bachtiar menurut pengakuannya sendiri adalah merupakan kelanjutan PNI, pasca Kongres PNI di Semarang tahun 1970. Kongres PNI sesudah Soekarno digulingkan dari kekuasaan, bukan lagi PNI yang berdasarkan pada Deklarasi Marhaenis (Nov 1964), tapi adalah PNI yang telah mencabut Deklarasi Marhaenis tersebut dan menilai Deklarasi Marhaenis itu sebagai "menyeleweng". PNI yang tidak mengakui lagi Bung Karno sebagai Bapak Marhaenis, termasuk juga ajarannya. Adalah PNI "Kebulatan Tekad" mendukung Soeharto.

Dengan tegas Bachtiar mengatakan di tahun 1966 PNI tidak mengakui lagi Deklarasi Marhaenis 1964 dan membikin rumus baru, yaitu Marhaenisme hanya mengandung Ketuhanan YME, Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi. "Inilah yang kita pegang sekarang" (Merdeka, 11/2).

Begitu pula PNI Probosutedjo juga memanipulasi ajaran-ajaran Bung Karno. Dikatakannya ajaran-ajaran Bung Karno masih relevan, kecuali Nasakom. (Jawa Pos, 1/2). Tanpa Nasakom, itu bukan ajaran Soekarno. Atau ajaran Soekarno disunat sekehendak hatinya. Itu hanya menunjukkan PNI Probosutedjo adalah marhaenis gadungan. Probosutedjo berhasil menjadi pimpinan PNI berkat money politics yang dijalankannya ketika Kongres PNI di Ancol akhir Januari yang lalu. Ia berhasil mendepak Maruli Pardede.

Kesimpulan
Untuk sementara yang kelihatan hendak menjalankan ajaran-ajaran Bung Karno ialah PNI yang dipimpin Ny Supeni. Praktek sosial atau praktek perjuangan PNI Ny Supeni lah yang akan membuktikan apakah PNI-nya benar-benar PNI menurut ajaran Bung Karno atau bukan. Dimulut semua bisa mengatakan PNI-nya adalah PNI Bung Karno, didalam praktek bisa lain.

Bila PNI dibawah pimpinan Ny. Supeni benar-benar berpegangan kepada ajaran Bung Karno, yaitu Marhaenismenya adalah marxisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi Indonesia, tentu partainya akan menjulang keatas kembali. Sebaliknya jika tidak menjalankan ajaran Bung Karno secara sungguh-sungguh, tentu kemalangan pula yang akan menimpanya.

Nasib malang PNI yang dialami selama ini akan tinggal menjadi kenangan, bila benar-benar PNI yang dipimpin Ny. Supeni melanjutkan perjuangan Bung Karno untuk melawan kapitalisme, imperialisme dan feodalisme. Bila tidak, nasib malang ke dua akan menimpanya pula.***

Posting Komentar

 
Top